About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Senin, 21 Oktober 2013

Cerpen "DIE"

                Jam pelajaran pertama dimulai dengan olahraga, seperti biasanya kami langsung mendatangi lapangan dibelakang sekolah secara bergerombol bak kumpulan bebek-bebek. Setelah sampai, Pak Andri sudah standby di tribun, dengan sedikit basa-basi kami memulai olahraga dengan pemanasan. Betapa mengejutkan, ketika Pak Andri memberitahu kami bahwa olahraga hari ini yaitu ‘fisik’, yang juga sontak membuat semua siswa berkicau. Beruntung juga minggu ini hanya test lari.
Aku yang menempati absen dua, mendapat giliran pertama untuk memulai berlari 20 keliling dilapang basket, bersama 9 siswa lainnya. Rasanya sangat melelahkan, aku terasa berlari tanpa kesadaran, diluar batas kemampuanku. Sebenarnya saat keliling ke-13 aku sudah tidak kuat, namun aku ingat akan nilai  dari test ini, aku harus bisa. Alhasil, wajahku terlihat tidak berdarah, pucat pasi. Ada sebagian temanku yang menegurku, tapi tak apalah, ini resiko, fikirku. Saat itu, aku merasa sangat pusing, suara dari Pak Andri terdengar seperti ngiung dikepalaku. Aku tak bisa mendengar dengan jelas suara disekitarku, apa yang terjadi denganku??,
Begitu pusingnya, aku hanya menundukan kepalaku ke lantai dekat sepatuku, memandangi lantai dengan rasa sakit yang tak tertahankan, tak hentinya aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya, namun masih saja terasa pusing. Hingga akhirnya aku memejamkan mata dan sekali lagi menarik nafas, syukurlah ngiung dikepalaku hilang. Aku mengalihkan pandanganku kepada Pak Andri yang dari tadi mengoceh, entah apa.
Tiba-tiba terasa ada yang aneh, mengalir dari lubang hidung kiriku, aku mengusapnya dengan telapak tanganku namun, ternyata itu darah. Disanalah aku mulai panik, aku memandang kearah semua teman-temanku, berharap ada yang bisa aku ajak ke kamar mandi tapi, semuanya fokus mendengarkan Pak Andri, aku tak berani pergi sendiri. Panik, takut, bingung, itu yang aku rasakan. Sejenak aku menundukan kepala mencari cara agar  tidak ada yang mengetahui, aku teringat dengan saputangan, aku segera meraihnya dari saku celana olahragaku, mencoba megusap darah yang terus mengalir, membuat kepanikan tertuju hanya padaku. Darah itu tidak mau berhenti, rasanya aku ingin menangis, tapi tidak, disana banyak orang, juga guru, tidak boleh ada yang tau! Aku kembali menyorot teman-temanku, Fahkri, dia melihatku dengan tatapan aneh, aku sangat terkejut, ada yang melihatku, aku secepat mungkin menundukan kepalaku, dan berusaha menghapus darah semampuku. Saat aku lihat Fahkri kembali, dia masih mendongak melihatku. Tapi, aku tidak menunjukan reaksi apa-apa. Darahnya sudah tidak ada, aku tenang.
Beberapa jam sudah berlalu
Datanglah Fahkri bersama Roni selaku KM & Wakil KM, mereka meminta kami berkumpul dikelas. Rupanya ada pengumuman dari kesiswaan. Ditengah-tengah pengumuman yang disampaikan Fahkri, tiba-tiba pusing itu kembali, ngiung itu datang lagi, darah itu keluar lagi. Secepat mungkin aku mengusapnya, dan kali ini aku harus pergi ke kamar mandi sendiri. Aku berdiri, membuat Fahkri berhenti berbicara, aku mengacungkan jari telunjukku, dan berlari keluar kelas. Semua mata sepertinya tertuju padaku. Aku tidak peduli. Aku tidak ingin ada yang tau tentang ini.
Sesampainya dikamar mandi, aku membuka kran washtapel sebesar mungkin dan mencuci hidungku. Darahnya tidak mau berhenti, aku lelah, panik, bingung, air mata ini mewujudkan kebingungan itu. Aku teisak, ada apa ini???
Ditengah kepanikan, ada seseorang dibalik pintu kamar mandi yang memukul-mukul pintu dengan kerasnya, kepanikan ku bertambah. Bagaimana ini???
“Andin!!! Buka pintunya!!!!” suara berat mengejutkanku, sepertinya itu Fahkri.
“Sebentar!!!” teriakku
Aku bergegas membuka pintu dan mendapati Fahkri dengan wajah panik dan nafas tersenggal-senggal.
“Kamu kenapa?” Tanya Fahkri serentak
“Kenapa? Ini kan kamar mandi perempuan, kenapa kamu ada disini??” Ucapku mengalihkan pembicaraan.
“KAMU KENAPA?” kali ini dengan nada lebih tinggi,
Ya, aku mendapati darah itu mengalir lagi, bisa aku rasakan.. aku begitu sedih, Fahkri mengetahuinya, aku tidak bisa berbuat apa-apa, air mataku mulai menetes.
“Tidak! Aku tidak apa-apa...” ucapku terisak, sambil mengusap hidungku.
“Tidak! Hidungmu berdarah! Kamu sakit..??” Timbal Fahkri tak percaya
Darah itu mengalir kembali. Aku benar-benar tidak bisa menahan air mata ini...
“Tidak, aku baik-baik aja.”elakku berusaha meyakinkan.
“Jangan bohong Andin, hidungmu berdarah.. banyak sekali!”ucap Fahkri tak percaya.
“Iya, Fahkri.. aku akan mati. Kamu tidak perlu menghawatirkan aku.. aku tidak pantas berteman dengan kamu. Sebentar lagi aku mati. Tolong jangan disini.. tolong kamu pergi...” Secara tidak sengaja aku berucap seperti itu..
Fahkri hanya tertegun tanpa berbicara apapun. Sepertinya dia syok. Aku mendorong bahu Fahkri
“Pergi..!” Kali ini aku benar- benar menangis deras
“Andin.. kamu tidak boleh seperti itu, aku ini temanmu, aku bisa membantumu.” Ujar Fahkri dengan lembut..
“Tidak, sebentar lagi aku mati. Tidak ada yang bisa membantuku. Tolong  jauhi aku!  aku ini berpenyakit.”Ucapku dengan terus terisak.
“Kamu salah!!, sebaiknya kita pergi ke Rumah Sakit segera mungkin..”Pinta Fahkri sambil menarik tanganku.
“Jangan, aku benci dokter! Aku tidak suka rumah sakit. Mereka semua bohong. Lepaskan!!”Ucapku sambil berusaha melepaskan tangan Fahkri.
“Mereka akan mengobatimu, ini darurat, dengarkan aku!”Fahkri mulai memuncak
“Biarkan aku sendiri! Aku akan mati tanpa merepotkan siapa pun. Kamu tidak perlu memaksaku!!”Timpal ku kesal
“Percayalah padaku... tolong,,”Fahkri mendekatiku
“Aku tidak percaya pada semua orang!! Mereka selalu berkata kebohongan!!!”
“Kamu boleh, tidak percaya pada siapapun! Tapi kamu harus percaya sama aku.”
“Kenapa aku harus percaya padamu?! Kamu terus memaksaku pergi ke Rumah sakit!!”
“Karena aku menyayangi kamu, lebih dari diriku sendiri.” Mata Fahkri terlihat berkaca-kaca. Dengan seribu keyakinan.
“Pegilah! Tak ada yang mau berteman dengan orang berpenyakit sepertiku.. kamu hanya akan menyesal.”
“Tidak ada penyesalan di hidupku“
Kali ini belum sempat aku berkata apapun, dia langsung membopongku. Tangannya yang besar terasa begitu memeluk bahuku yang mungil.
“Kemana kau akan membawaku ?” ucapku lemah
“Kita harus pergi ke rumah sakit.”
Mendengar itu, aku langsung melepaskan tangan Fahkri yang memegang bahuku.
“Tidak! Sekalipun aku harus mati, aku tidak ingin pergi ke rumah sakit”
Aku berlari semampuku, meninggalkan Fahkri yang terdiam di jalan, aku terus berlari seakan dikejar harimau. Aku berlari menuju kelas. Tapi, ternyata Fahkri mengejar. Aku sudah tidak sanggup, aku tidak memiliki kekuatan untuk berlari, aku berhenti dan bertopang pada  pintu kelasku. Sepertinya darah itu muncul lagi, entahlah.. sepertinya kali ini teman-temanku harus mengetahuinya. Sebentarlagi aku mati.
“Andin!! Kamu kenapa??” Tanya Dwi panik
Aku tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Sekarang semua siswa sudah mengerubutiku yang terkulai tak berdaya didepan kelas. Fahkri datang dan menerobos kerumunan.
“Andin.. Andin...”Fahkri panik
Aku tersadar dan mencoba berdiri “Tidak, teman-teman maafkan semua kesalahanku, aku sudah tidak kuat, aku ..., aku... ,”
Brruuk...!
Serentak Fahkri mendorong bahuku hingga punggungku menabrak dinding.
“Andin!! Kamu tidak boleh berkata seperti itu!!!” Fahkri berkata sambil memandang wajahku
Aku hanya tertunduk dan menangis“Maaf, aku sudah tidak sanggup... Aku kalah, penyakit ini terlalu ganas.. aku akan...”belum selesai aku berbicara, lagi-lagi Fahkri memotong pembicaraanku
“ANDIN!!!! Dengarkan aku!!!” nadanya begitu tinggi
“Fahkri!!  sudah, sudah, lihat hidung Andin berdarah, kamu tidak boleh memarahinya ”  Wina mencoba melepaskan tangan Fahkri dari bahuku, berusaha menyadarkan Fahkri. Tapi Fahkri menyingkirkan tangan Wina dengan kasar.
“Diam!” teriak Fahkri
“Andin! Lihat wajahku! jangan hanya menunduk! LIHAT WAJAHKU!!” Fahkri benar-benar kasar.
Aku mencoba memberanikan diri menatap wajah Fahkri, dengan pipi penuh air mata, dan hidung mengalir darah.
“Kamu harus tetap hidup! Mana semangat kamu yang biasanya kamu tunjukan?! Mana senyum kamu yang selama ini?!”
“Aku lelah... aku... aku... tidak kuat,,, biarkan aku pergi selamanya”
“Kamu tidak boleh seperti itu... Kamu masih bisa hidup!  Kami membutuhkanmu! Kami menyayangimu...  Percayalah....”
Aku menangis sejadi-jadinya. Fahkri mencoba menghapus air mata dipipiku namun, aku menangkis tangannya.
“Bawa aku pulang..” Dan aku terhempas ke lantai, dan mataku terasa berat, remang-remang  terdengar suara teman-temanku yang panik, hingga akhirnya aku tidak mendengarnya lagi.
“Andin....”
“Andin..”
“Andin,,” suara itu tak terdengar lagi.

Selamat tinggal kawan...

0 komentar:

Posting Komentar