About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Minggu, 07 Juli 2013

Cerpen Gelap Yang Terang



GELAP YANG TERANG
Aku adalah Zenn. Seorang mahasiswa di salah satu universitas yang cukup bergengsi di Yogyakarta. Aku hanyalah anak desa yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk kuliah di universitas ternama. Ya, beasiswa. Tapi disini aku tak bisa berharap banyak.
Di kelas, aku hanya bisa diam. Mengagumi argumentasi teman-temanku yang pengetahuannya jauh di atas rata-rata pengetahuanku. Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku untuk mengekspresikan aku mengerti tentang apa yang  mereka bahas. Serta mengerutkan kening ketika aku tak mengerti.
Dibandingkan teman-temanku yang kebanyakan dari mereka memahami tentang bagaimana menggunakan internet dan teknologi moderen lainnya. Aku tak jauh beda dengan kelelawar di siang hari, serba buta teknologi. Di presentasiku yang pertama, dengan menggunakan bahasa Inggris yang pas-pasan. Aku merasa cukup bangga dengan usahaku. Meskipun kebanyakan dari teman-temanku tak mengerti dengan apa yang aku maksudkan, sehingga aku presentasi layaknya orang bodoh. Sejak saat itulah aku menjadi pribadi yang dingin dan pendiam. Padahal aku hanya ingin di hargai dan dari sanalah aku ingin menjadi orang yang serba tahu teknologi. Aku serap setiap tetesan teknologi yang muncul di permukaan, hingga tak ada lagi yang tersisa.

Namun, kenyataannya terjadi diluar dugaan. Aku larut dalam teknologi. Pagi ini aku berhasil membuat 40 status galau dan sumpah panjangnya dua meter di blog. Gila kan?
Ya, segila segala sesuatu yang datang secara tiba-tiba lalu menghancurkan kebahagiaanku. Kau tau rasanya tejun dari lantai tiga gedung sekolah. Sakit. Hingga memaksaku untuk duduk di kursi istimewa khusus orang cacat. Ya tentu kau tau. Itu semua murni kesalahanku, memainkan gadget sewaktu berjalan, akhirnya buum... aku terjun.
Tiga hari berlalu, tubuhku serasa kaku bagikan mayat. Meski begitu ku masih tak bisa melewatkan mataku dari netbookku. Aku tak pernah ingin menjadi yang tertinggal lagi untuk kedua kalinya.
Ibu datang dan langsung menyerbuku bagaikan burung yang dilempari biji jagung.
“Zenn...” Ibu menyerbuku.
“Zenn sudah sembilanbelas tahun bu,,” Aku berusaha melepaskan pelukan ibu.
“Harusnya kamu memberi tahu ibu kondisi sebenarnya.” Ibu terlihat kecewa.
Aku harap ia lebih kuat dariku.
“Tidak, lagipula tubuh  Zenn sudah seperti mayat.”
Teman-temanku datang, tapi aku rasa mereka tidak datang untuk menjengukku. Tapi untuk mengadakan syukuran karena untuk beberapa minggu aku tak datang ke sekolah. Tapi  Dimas, ia hampir setiap hari datang setelah mendengar aku terjun dari lantai tiga dan memberitahuku tugas-tugas dikelas. Bahkan aku merasa risih dengan kedatangannya yang kapan saja dan dimana saja aku berada. Orang yang selalu tersenyum disetiap kali mengawali dan mengakhiri pembicaraan.
“Kau harus tetap bersemangat” Ujar Dimas sambil tersenyum.
“Tak ada yang membuatku bersemangat.” elakku.
“Selalu ada harapan selama kau masih bernafas” Dimas berkata seraya terus tersenyum.
Kini aku benar-benar dibuat bingung dengan senyuman itu.
“Kenapa kau harus terus tersenyum?” Aku menanyakan kebingunganku.
“Tentu saja, teruslah tersenyum selama kau tak memerlukan penjepit pipi.” Dimas  menjawabnya.
Kali ini aku percaya dengan pemikiran dokter. Syaraf otakku benar-benar telah pecah. Dan memang karena kebiasaan buruk memaksakan on di depan netbook. Aku harus menerima kesalahanku dan takdirku.
Gelap, aku tak bisa lagi melihat indahnya dunia. Tak bisa lagi aku mengutarakan semua rasa. Ya, aku buta dan tuli. Aku menyesal.
Kreeeeek....
“Zenn, waktunya makan siang, mau makan di luar atau dirumah?”
Terdengar seseorang membuka pintu, dan jelas itu suara Dimas.
Aku hanya diam, dan memang hanya itu yang bisa kulakukan.
“Aku mengerti, lebih baik makan dirumah saja.” Berkata dengan nada tangis yang tertahan.
“Kau tak perlu sedih dengan keadaanmu, aku akan menjadi matamu dan membantumu meneruskan kuliahmu” masih dengan nada itu.
            Benar saja aku bisa menjadi salah satu mahasiswi terbaik di universitasku. Aku mampu menampilkan presentasi dengan lima bahasa. Aku mendapat beasiswa lagi. Semua itu aku lakukan dalam kebutaan, dalam kegelapan. Ya gelap yang memberiku jalan.  Aku sadar, selama ini aku tidak bijak dalam menghadapi teknologi.
P e n u l i s       : A n i s  M a l i a  S o l i h a h t
K e l a s           : X  M u l t i m e d i a  3

0 komentar:

Posting Komentar