GELAP YANG TERANG
Aku
adalah Zenn. Seorang mahasiswa di salah satu universitas yang cukup bergengsi
di Yogyakarta. Aku hanyalah anak desa yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk
kuliah di universitas ternama. Ya, beasiswa. Tapi disini aku tak bisa berharap
banyak.
Di
kelas, aku hanya bisa diam. Mengagumi argumentasi teman-temanku yang
pengetahuannya jauh di atas rata-rata pengetahuanku. Aku hanya
mengangguk-anggukan kepalaku untuk mengekspresikan aku mengerti tentang apa
yang mereka bahas. Serta mengerutkan
kening ketika aku tak mengerti.
Dibandingkan
teman-temanku yang kebanyakan dari mereka memahami tentang bagaimana
menggunakan internet dan teknologi moderen lainnya. Aku tak jauh beda dengan
kelelawar di siang hari, serba buta teknologi. Di presentasiku yang pertama,
dengan menggunakan bahasa Inggris yang pas-pasan. Aku merasa cukup bangga
dengan usahaku. Meskipun kebanyakan dari teman-temanku tak mengerti dengan apa
yang aku maksudkan, sehingga aku presentasi layaknya orang bodoh. Sejak saat itulah
aku menjadi pribadi yang dingin dan pendiam. Padahal aku hanya ingin di hargai
dan dari sanalah aku ingin menjadi orang yang serba tahu teknologi. Aku serap
setiap tetesan teknologi yang muncul di permukaan, hingga tak ada lagi yang
tersisa.
Namun,
kenyataannya terjadi diluar dugaan. Aku larut dalam teknologi. Pagi ini aku
berhasil membuat 40 status galau dan sumpah panjangnya dua meter di blog. Gila
kan?
Ya,
segila segala sesuatu yang datang secara tiba-tiba lalu menghancurkan
kebahagiaanku. Kau tau rasanya tejun dari lantai tiga gedung sekolah. Sakit.
Hingga memaksaku untuk duduk di kursi istimewa khusus orang cacat. Ya tentu kau
tau. Itu semua murni kesalahanku, memainkan gadget sewaktu berjalan, akhirnya
buum... aku terjun.
Tiga
hari berlalu, tubuhku serasa kaku bagikan mayat. Meski begitu ku masih tak bisa
melewatkan mataku dari netbookku. Aku tak pernah ingin menjadi yang tertinggal
lagi untuk kedua kalinya.
Ibu
datang dan langsung menyerbuku bagaikan burung yang dilempari biji jagung.
“Zenn...” Ibu
menyerbuku.
“Zenn sudah
sembilanbelas tahun bu,,” Aku berusaha melepaskan pelukan ibu.
“Harusnya kamu memberi
tahu ibu kondisi sebenarnya.” Ibu terlihat kecewa.
Aku harap ia lebih kuat
dariku.
“Tidak, lagipula
tubuh Zenn sudah seperti mayat.”
Teman-temanku
datang, tapi aku rasa mereka tidak datang untuk menjengukku. Tapi untuk
mengadakan syukuran karena untuk beberapa minggu aku tak datang ke sekolah.
Tapi Dimas, ia hampir setiap hari datang
setelah mendengar aku terjun dari lantai tiga dan memberitahuku tugas-tugas
dikelas. Bahkan aku merasa risih dengan kedatangannya yang kapan saja dan
dimana saja aku berada. Orang yang selalu tersenyum disetiap kali mengawali dan
mengakhiri pembicaraan.
“Kau harus tetap
bersemangat” Ujar Dimas sambil tersenyum.
“Tak ada yang membuatku
bersemangat.” elakku.
“Selalu ada harapan
selama kau masih bernafas” Dimas berkata seraya terus tersenyum.
Kini aku benar-benar
dibuat bingung dengan senyuman itu.
“Kenapa kau harus terus
tersenyum?” Aku menanyakan kebingunganku.
“Tentu saja, teruslah
tersenyum selama kau tak memerlukan penjepit pipi.” Dimas menjawabnya.
Kali
ini aku percaya dengan pemikiran dokter. Syaraf otakku benar-benar telah pecah.
Dan memang karena kebiasaan buruk memaksakan on di depan netbook. Aku harus
menerima kesalahanku dan takdirku.
Gelap,
aku tak bisa lagi melihat indahnya dunia. Tak bisa lagi aku mengutarakan semua
rasa. Ya, aku buta dan tuli. Aku menyesal.
Kreeeeek....
“Zenn, waktunya makan
siang, mau makan di luar atau dirumah?”
Terdengar seseorang
membuka pintu, dan jelas itu suara Dimas.
Aku hanya diam, dan memang
hanya itu yang bisa kulakukan.
“Aku mengerti, lebih baik
makan dirumah saja.” Berkata dengan nada tangis yang tertahan.
“Kau tak perlu sedih
dengan keadaanmu, aku akan menjadi matamu dan membantumu meneruskan kuliahmu”
masih dengan nada itu.
Benar saja aku bisa menjadi salah satu mahasiswi terbaik
di universitasku. Aku mampu menampilkan presentasi dengan lima bahasa. Aku
mendapat beasiswa lagi. Semua itu aku lakukan dalam kebutaan, dalam kegelapan.
Ya gelap yang memberiku jalan. Aku
sadar, selama ini aku tidak bijak dalam menghadapi teknologi.
P e n u l i s : A n i s
M a l i a S o l i h a h t
K e l a s : X
M u l t i m e d i a 3
0 komentar:
Posting Komentar