Hari yang dinantikan pun tiba. Hari yang menghabisakn biaya
banyak, hari yang akan membuka pandangan kami tentang dunia. Study tour.
Agaknya berlebihan, namun itu benar, kami sudah memperdebatkan hari ini
bersama-sama, dan keputusannya pagi ini kami akan pergi ke taman buah Bogor.
Di pinggiran jalan sudah penuh oleh banyak bus. Tampaknya
disekolah sudah datang kawan-kawan sekelasku. Tiwi, Vio, dan teman-teman
lainya. Tiwi tampak sangat dewasa dengan postur tubuh ideal, kulit putih,
berkacamata, dia juga sekarang menggunakan sweater biru yang menutup baju
sportheam kebanggan kelas. Sedangkan Vio, telihat sangat feminim, dia memakai
sweater pink, diwajahnya tampak polesan-polesan make up, kakinya memakai selop
yang cantik, Vio memang cantik dengan pipi chubbynya.
Pada awalnya aku tidak akan ikut study tour ini, karena
ekonomi keluargaku memang tidak memungkinkan, namun Vio dan Tiwi memaksaku,
mereka bilang ini akan jadi pengalaman seru selama SMA. Aku juga menginginkan
ikut sebenarnya, jadi sebulan sebelum acara ini, aku harus kerja paruh waktu
agar bisa mengumpulkan uang. Ibuku sebenarnya melarang, apalagi bapak, tapi aku
bersikeras untuk bekerja paruh waktu, pada akhirnya mereka melunak.
Pagi tadi, aku berpamitan kepada ibu, sedangkan bapak sudah
lebih dulu menuju pencarian nafkah sejak selesai subuh. Aku tak mengira ibu
akan memberikan benda berharga padaku.
“Apa ini bu ?”
“Apa ini bu ?”
“Bawalah, itu sebagai uang jajanmu, karena ibu sedang tidak
ada uang, para pelaggan tidak mau membayar karena jahitan ibu belum selesai.”
“Tapi bu, ini sangat berharga buat ibu dan bapak, lebih baik
aku tidak membawanya.”
“Tidak apa, ibu khawatir kamu jauh dari rumah, kamu kurang
makan disana. Lagipula, bapakmu insyallah nanti pulang membawa uang.”
“Tapi, makanan sudah di jatah disana, bu”
“Nak, ibu tidak bisa memberikan apa-apa untukmu, bawa saja.
Jika tidak terpakai, gunakan untuk pendaftaran kuliahmu.”
“Baiklah bu, aku berangkat, assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsallam, hati-hati, jaga dirimu,”
“Iya bu,”
Ibu memberikan cincin pernikahannya kepadaku. Cincin dengan
mata berlian. Padahal cincin itu sangat mahal, itu satu-satunya harga paling
berharga milik ibu. Tapi, aku menerima saja, semoga aku bisa memberikanya lagi
ketika pulang nanti.
Ketika menapakan kaki disekolah, Vio dan Tiwi lagsung sumringah,
mereka lega melihat kedatanganku.
“Akhirnya, kamu dateng juga.” Ucap Vio lega.
“Kami kira kamu gak jadi ikut”Tiwi menambahkan
“Ya, aku jadi ikut, aku juga ingin melihat Kota Hujan.”
Setelah mendapat bimbingan dari guru, kami memasuki bus yang
sudah parkir sejak subuh. Kami berada dibus 3, dan duduk bersama Vio dan Tiwi.
Bus 3 khusus untuk kelas IPA 3, jadi kami bersama semua teman-teman sekelas.
Itu agak melegakan, karena berarti tidak harus duduk bersama orang asing.
Menempuh perjalanan berjam-jam, melalui berbagai daerah,
akhirnya kami sampai ditempat tujuan. Pembimbing mengatur kunjungan kami ke
beberapa tempat, sampai tiba waktunya shalat dzuhur, kami menghentikan
kunjungan, dan beristirahat diresto sekitar kebun raya untuk makan siang.
Restonya sangat asri, pemandangannya sangat alami. Ketika teman-teman akan
salat dzuhur, kami pergi ke kamar mandi untuk sekedar menghilangkan kejenuhan,
karena jadwal datang bulan Vio, Tiwi dan aku hampi berbarengan. Tapi, ketika
akan kembali ke resto, hujan lebat turun, sangat lebat, hingga jalananpun tak
terlihat jelas. Mungkin karena itu dijuluki kota hujan. Vio, Tiwi dan aku
memutuskan untuk berteduh di mesjid, karena lebih dekat daripada resto.
Ketika sampai digerbang mesjid, kami bertemu Dani, Danu, dan
Angga yang tengah berlarian dibawah hujan sambil menutupi kepala dengan jaket.
“Udah salat Dan ?” tanyaku.
“Iya, udah.” Sambil berlari
“Udah salat Dan ?” tanyaku.
“Iya, udah.” Sambil berlari
Dimesjid masih terlihat banyak jamaah yang sedang salat.
Jadi, kami menunggu hujan reda diteras mesjid. Suhunya sangat rendah, badanku
terasa menggigil meskipun duduk Vio dan Tiwi berdekatan.
“Jadi pengen pulang kalo udah gini” Vio mengeluh
“Yah neng, kalo ke kota hujan gak ngerasain hujan kurang
greget” Tiwi memulai parodi
“Kalo ada Bima pasti lebih anget.” Jawabku
“Bakal anget kalo jadi boneka peluk.” Vio menjawab
“hahhaa...”
Bima, salah satu teman sekelas, sebenarnya namanya bukan
Bima, tapi Bisma, tapi karena memiliki badan gempal, dijuluki Bima.
Percakapan parodi tadi cukup menghangatkan suasana. Tak
disangka, Yusril dan Fadhli menyapa kami.
“Hey, kok masih disini ?” tanya Fadhli
“Nunggu ujan reda” jawabku
“Aduh si eneng, di Bogor, ujan gak semenit, bisa sampe
sejam.” Yusril menimpali
“Mau ke resto gak ?” Fadhli menawarkan
“Mau, tapi jalanya gak keliatan.” Tiwi berkata
“Ujannya masih deres banget,” Vio juga menjawab
“Iya sih, gw sama Fadhli juga nunggu dari tadi, tapi
kayaknya tinggal kita doang yang disini.”
“Kita mau maksa, soalnya busnya berangkat setengah jam lagi”
ucap Fadhli
“Astaga! Kita gak tau jadwal” Vio kaget
“Yaudah, kita ikut” Tiwi mewakili
“gubrakk... Oon” Ejek fadhli
“Kalian tau jalan kan ??” tanyaku
...
“Heh tunggu, kayaknya kita muter-muter deh, lihat kita balik
lagi ke mesjid.” Ucap Tiwi kritis
“Lha, kok jadi muter-muter sih?” Yusril bingung
“kayaknya lu salah belok tadi.” Fadhli meluruskan
“Duh, jalanya emang gak keliatan jelas.” Yusril bingung
Tak jauh dari tempat mereka berteduh, ada bus membunyikan
klark sound, tampak beberapa orang memakai baju hitam-hitam menaiki bus.
“Itu busnya!” Vio terkejut
“Ayo cepetan..!!!” ajak Fadhli
Setelah memasuki bus, kondisinya sangat kacau, pakaian
basah, acak-acakan, becek, dan sesak ? Bus melaju dengan cepat, menembus
derasnya hujan. Yusril dan Fadhli segera duduk bersama seorang wanita, dan kami
duduk dibelakangnya.
“Kok jadi sesek sih?” Tiwi berkata
“Apaan?? Gak kedengeran, sesek niih” Tanya Yusril
“Iya, kok jadi sesek ??”
“Temen-temen mereka siapa ?” tanyaku
“...”
“Ak.. aku gak kenal, mereka bukan temen-temen kita” Vio
takut
“Bus ini jalanya kemana??” Yusril panik
“Jalanya gak keliatan, deres.” Fadhli
“Jalanya gak keliatan, deres.” Fadhli
Bus tetap melaju dengan kencang
“Tenang, mungkin bus ini bakal bawa kita balik ke Bandung.”
Yusril menenangkan
“Bandung? Bus ini jurusan Bekasi dek,” Wanita yang duduk
bersama Yusril dan fadhli menjawab
“Bekasi ??!!!! “ Aku panik
“Ha ?! rumah gw diBandung, kita salah bus” Tiwi panik
“Astaga! Kita udah nyampe mana?! Kita jauh dari rombongan.”
Vio panik
“Kita harus turun disini..!” Fadhli panik
“Tenang, kalo kita turun, kita gak tau didaerah apa. Diluar
ujan deres, mana ada tempat berteduh. Kalian bawa HP kan ? nah, hubungi
keluarga lu, kalo lu salah bus, dan kesasar dibekasi.” Yusril menyikapi
“Keluargaku, mana ada yang jemput aku dibekasi, semua uangku
ada ditas, di bus.” aku bingung
“Tenang Put, paling engga hubungi dulu keluarga elo.” Yusril
menenangkan
15 menit kemudian, setelah berkutat dengan ponsel
masing-masing, tidak ada yang bisa menghubungi siapapun, karena tidak ada
jaringan untuk ponsel manapun. Cuaca sangat buruk, Yusril terpaksa berbicara
menceritakan semuanya kepada sang supir. Sang supir mau mengerti dan akan
mengantar kami pulang ke Bandung, setelah mengantar semua penumpangya ke
Bekasi. Namun, ketika perjalanan ke Bandung, terjadi masalah, di bus hanya
tinggal kami berlima, beberapa penumpang ibu-ibu, beberapa orang laki-laki yang memakai baju
hitam, supir, dan kondektur. Jarak rumah aku, Vio, Tiwi, Yusril dan fadhli
sangat berjauhan, yang terdekat adalah Yusril, Vio, Tiwi, Fadhli dan yang
terjauh adalah aku. Ketika di bus hanya ada aku, Fadhli, beberapa penumpang
ibu-ibu, beberapa orang laki-laki yang
memakai baju hitam, supir, dan kondektur, suasana menjadi sangat sepi, dingin,
dan bahaya. Aku sangat takut, apalagi aku menggunakan perhiasan mencolok,
cincin berlian, aku sangat khawatir.
“Fadhli? “ Panggilku
“Hm?” Fadhli mengangkat sebelah alisnya sambil melirik aku
yang duduk dibelakangnya.
“Tidak,” aku takut, jadi tidak jadi berbicara.
Tiba-tiba Fadhli berdiri, pindah duduk menemani aku
dibelakang, meninggalkan ibu-ibu yang duduk disebelahnya.
“Ada apa? Lu kayak yang parno banget,”
“...” aku tersenyum, meskipun terlihat dipaksakan
“Kenapa ? lu grogi duduk sama orang ganteng?”
“gak lah!” aku sengaja menginjak sepatunya.
“gak lah!” aku sengaja menginjak sepatunya.
“aduuuh”
Aku menjulurkan tangan kiriku yang menggunakan cincin.
“ha? Lu mau gua lamar?? Kita kan masih SMA, gw gak bisa,
tunggu gw dapet kerjaan dulu, emang lu mau makan cinta? Lagian emang lu
ngedukung pernikahan dini? Gw... gw...”
Akhirnya Fadli berhenti berbicara setelah aku menampakan
wajah dongkol.
“Ngehayal aja lu!!”
“Abisnya lu diem aja, gw tau,,, tapi gw bingung, aha!! Lu
mampir aja kerumah gw, ntar...”
Belum selesai Fadhli berbicara, ibu-ibu dikursi depan
langsung berbalik dan mencengkram tanganku, ia mengancam agar memberikan cincin
itu, aku menolak, dan berusaha mengepalkan tangan agar ibu itu tidak mengambil
cincin ibuku. Faadhli menarik bahuku dengan kuat, hingga aku terjatuh dilorong
bus. Tiba-tiba bapak berbaju hitam menarik lengan Fadhli dan menodongkan
senjata dipelipis Fadhli, namun Fadhli menangis dengan kencang. Bapakk berbaju
hitam lainya meringkus tanganku, dan mengancam dengan pisau agar membuka
kepalan tanganku.
“Sakit!! Sakit!!” teriaku
Fadhli yang berpura-pura menangis menyiku bapak yang
menodongnya hingga terjatuh, lalu merebut senjata, dan melemparkan senjata itu
keluar jendela. Fadhli berjalan mendekatiku, bapak yang meringkusku berjalan
mundur, sambil mengancam-ngancam.
“Lepaskan gadis itu, dan tidak ada yang terluka.” Fadhli
menawarkan
“Hentikan! Hentikan! Apa yang kailan lakukan??!!! “ sang
supir terkejut
“Supir! Teruslah mengemudi jika tidak ingin ada yang mati.”
Ucap bapak berbaju hitam
Fadhli berlari mendekatiku sampil berteriak “Tidak akan ada
Korban !!!!! “
Pergulatan terjadi, berkali-kali fadhli memukul, menendang
bapak itu hingga darah keluar dari mulutnya. Fadhli mengerang, ketika kakinya
tersayat pisau, akhirnya Fadhli memegang kedua kaki bapak itu dan membantingnya.
Fadhli kesakitan, darah banyak keluar dari kakinya.
“Ibu, bu... tolong.. teman saya berdarah!!! “ aku memohon
pada salah satu ibu.
Tapi, ibu itu malah menarik tanganku dan memaksa melepas
cincinnya dengan kasar, ibu sebelahnya merebut tanganku, dan memkasa dan
mengancam, aku menjerit, karena kesakitan, jariku lecet, berdarah. Ibu-ibu itu
masih memegangi tanganku dan berebut. Fadhli bangkit, tapi terjatuh lagi,
karena tak sanggup berdiri.
“IBU!!!! SAKIT!!! SAKIIIIT........!! Ini cincin ibu saya,
ini tabungan saya untuk kuliah nanti bu!!!!!!!! Saya tidak memiliki apapun,
saya keluarga miskin bu!! Saya ingin menaikan ekonomi keluarga saya...!!” aku
menangis sambil meluapkan kekesalan dan kesakitan
“ARRGGGGHHH....!!!!!!” salah satu ibu itu terkejut, dan
menjauh, melepaskan tanganku
Fadhli datang sambil tertatih tatih, lalu menampar seorang
ibu yang masih mencengkram leganku. Ibu itu ketakutan, lalu mundur.
“Pak supir! Hentikan busnya! Kami sudah sampai.” Teriak
Fadhli
Aku membopong Fadhli keluar dari Bus Teror itu. Aku lupa
kalau Fadhli pemegang sabuk hitam Taekwondo, pada akhirnya harus dibopong
seorang perempuan lemah sepertiku.
Ditulis Oleh : Anis Malia Solihaht
FB : Anis Malia Solihaht
0 komentar:
Posting Komentar